Kamis, 26 April 2012

Teori Evolusi jembatan menuju Atheisme


  1. Melalui serangkai pembuktian ilmiah para pakar, buku-buku Harun Yahya menunjukkan pada dunia, teori evolusi ternyata cuma angan-angan kosong Darwin dan para pengikutnya. Lebih dari itu, teori Darwin telah menginspirasikan terjadinya peperangan dan pembantaian bermotif rasisme dan fasisme sebagaimana yang dilakukan Hitler dan Mussolini.
    Anda punya hubungan kekerabatan dengan kera? Atau Anda punya nenek moyang yang sama dengan gorila? Anda yang mengimani Al-Quran pasti akan berkata tegas, "Tidak!" Karena Allah melalui kitab suci-Nya telah menjelaskan bahwa setiap manusia di muka bumi adalah keturunan manusia pertama yang bernama Adam 'alaihi salam. Dan Adam tidak memiliki hubungan kekerabatan apapun dengan kera serta hewan manapun. Ia adalah manusia pertama yang langsung diciptakan oleh Allah. Adam tidak memiliki ayah, ibu serta saudara. Yang ia miliki hanyalah istri, anak dan keturunannya.
    Tetapi mereka yang 'mengimani' teori evolusi percaya bahwa mereka punya hubungan kekerabatan dengan kera, beruk, simpanse, gorila dan orangutan. Bahkan kalangan itu juga percaya bahwa mereka berkerabat dengan anjing, tikus, kecoak, cacing, pohon nangka, rumput, jamur dan bakteri. Dan semuanya itu merupakan keturunan dari makhluk bersel satu semacam amuba dan protozoa.
    Bicara tentang evolusi tidak akan lepas dari peran seorang petualang asal Inggris bernama Charles Robert Darwin (1809-1892). Oleh banyak evolusionis (penganut teori evolusi), Darwin dianggap sebagai Bapak Evolusi. Meski sesungguhnya kepercayaan bahwa satu spesies merupakan keturunan spesies lain sudah dikemukakan oleh ilmuwan-ilmuwan lain sebelumnya, seperti biologi Perancis Jean Baptiste Lamarck. Bahkan kepercayaan semacam itu diketahui sudah ada sejak jaman purba. Bangsa Sumeria yang hidup beberapa alaf (milenium) silam di Mesopotamia diketahui memiliki kepercayaan tentang proses terciptanya dewa mereka yang muncul tiba-tiba dari banjir besar yang kemudian berevolusi menjadi alam semesta dan makhluk hidup di dalamnya.
    Sebagai tokoh evolusi Darwin tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang biologi, tetapi ia memiliki ketertarikan yang besar pada alam dan makhluk hidup. Minat itu mendorongnya untuk ikut serta dalam ekspedisi pelayaran pada tahun 1832, mengarungi berbagai belahan dunia selama lima tahun.
    Darwin muda sangat takjub melihat beragam spesies makhluk hidup terutama jenis-jenis burung finch tertentu di kepulauan Galapagos. Ia mengira bahwa variasi pada paruh burung-burung itu disebabkan oleh adaptasi mereka terhadap habitat. Dengan pemikiran ini, ia menduga bahwa asal-usul kehidupan dan spesies berdasar pada konsep adaptasi terhadap lingkungan. Menurut Darwin, aneka spesies makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh Tuhan, tetapi berasal dari nenek moyang yang sama dan menjadi berbeda satu sama lain akibat kondisi alam.
    Selanjutnya Darwin menyatakan, individu-individu yang beradaptasi pada habitat mereka dengan cara terbaik akan menurunkan sifat-sifat mereka kepada generasi berikutnya. Sifat-sifat yang menguntungkan ini lama-kelamaan terakumulasi dan mengubah suatu individu menjdi spesies yang sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya.
    Darwin menamakan proses tersebut "evolusi melalui seleksi alam". Ia mengira telah menemukan "asal-usul spesies": suatu spesies berasal dari spesies lain. Darwin kemudian mempublikasikan pandangannya ini dalam sebuah buku berjudul "The Origin of Species, by Means of Natural Selection" (Asal-usul Spesies, melalui Seleksi Alam).
    Sejak awal digulirkan teori itu sudah menuai banyak kritik dan sanggahan, khususnya dari kalangan agamawan, karena apa yang dipaparkan Darwin bertentangan dengan ajaran Yahudi, Kristen dan Islam. Pandangan agamawan, setiap jenis makhluk diciptakan masing-masing oleh Tuhan, bukan merupakan keturunan dari jenis yang lain.
    Seiring dengan perjalanan waktu, kritik dan sanggahan tidak hanya berasal dari kalangan agamawan, tetapi juga berasal dari kalangan ilmuwan berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang mereka dapatkan. Bahkan kerap terjadi, bukti-bukti ilmiah yang menggugurkan teori evolusi ditemukan oleh para evolusionis sendiri. Sudah puluhan buku dan ratusan tulisan ilmuwan dipublikasikan untuk menjelaskan kelemahan teori itu.
    Darwin sendiri sejak awal sudah menyadari bahwa teorinya menghadapi banyak masalah. Ia mengakui ini dalam bukunya pada bab Difficulties of The Theory. Kesulitan itu terutama pada catatan fosil dan organ-organ rumit mahkluk hidup (misalnya mata) yang tidak mungkin dijelaskan dengan konsep terjadi secara kebetulan dan naluri makhluk hidup. Darwin berharap kesulitan-kesulitan itu akan teratasi oleh penemuan-penemuan baru. Namun yang terjadi teori itu bukannya menjadi semakin menguat, tetapi malah semakin hari semakin lemah dan nyaris runtuh.
    Masalahnya publikasi yang mengkritik dan menyanggah teori evolusi kalah gencar dibandingkan publikasi yang mempropagandakan teori kontroversial itu. Berbagai media massa sekuler di berbagai belahan dunia telah menjadi pendukung utama indoktrinasi dogma evolusi ke tengah masyarakat luas. Terlebih lagi, dunia pendidikan di berbagai negeri termasuk dunia pendidikan di Indonesia cenderung berpihak kepada teori evolusi.
    Dalam kurikulum pendidikan biologi SMU di negeri ini misalnya, pelajaran tentang evolusi mendapat jatah dua bab (bab Asal Usul Kehidupan dan bab Evolusi). Di tingkat perguruan tinggi, khususnya di Fakultas MIPA Jurusan Biologi, teori evolusi diajarkan dalam satu mata kuliah khusus. Isinya jelas mempropagandakan teori ini tanpa mengimbangi dengan kritik dan sanggahan terhadapnya. Seolah sudah menjadi sebuah aksioma yang tak terbantahkan.
    Untuk merevisinya tidaklah gampang, karena perlu upaya bersama dari kalangan biolog dan para perumus kurikulum. Seperti diungkapkan Dr Taufikurrahman, Ketua Departemen Biologi ITB, baik untuk program S1 maupun S2, mata kuliah evolusi masih menggunakan pendekatan dogmatis yang menihilkan peran Tuhan sebagai Sang Pencipta. "Untuk mereformasinya perlu ada kesepakatan bersama yang belum tercapai hingga saat ini," jelas Taufik, biolog yang memberikan Kata Pengantar pada buku "Keruntuhan Teori Evolusi".
    Menyadari hal demikian, seorang cendekiawan asal Turki bernama Harun Yahya, selama dua puluh tahun terakhir bersama kelompoknya aktif melakukan riset dengan mengumpulkan berbagai bukti ilmiah yang menyanggah teori evolusi dan mempublikasikannya secara besar-besaran ke seluruh dunia. Berbagai bukunya telah disalin utuh ke situs internetnya (www.hyahya.org dan www.harunyahya.com), sehingga siapapun bisa membaca sepuasnya. Dan sebagian sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti bahasa Indonesia, Malaysia, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Spanyol, Arab, Portugis, Albania, Serbo-Kroasia (Bosnia), Polandia dan Urdu (India).
    Buku sanggahannya terhadap teori evolusi yang berjudul The Evolution Deceit oleh penerbit Dzikra telah diterbitkan ke bahasa Indonesia dengan judul "Keruntuhan Teori Evolusi" (terjemahan yang lebih tepat: Kebohongan Teori Evolusi, red). Tentu saja isinya tidak sekedar sanggahan tanpa alasan. Ada setumpuk analisis dan bukti-bukti ilmiah yang dikumpulkan dari berbagai buku dan tulisan para pakar internasional yang menyanggah dan meruntuhkan teori evolusi, termasuk dari kalangan evolusionis sendiri.
    Sebenarnya sebelum The Evolution Deceit diterjemahkan, Penerbit Mizan telah menerbitkan buku bertajuk "Evolusi Ruhani: Kritik Perenial atas Teori Darwin" (1996) yang merupakan terjemahan dari Critique of Evolutionary Theory. Isinya merupakan kumpulan karangan delapan orang pakar dari berbagai bidang ilmu yang mengkritik teori evolusi. Tercatat di antaranya Seyyed Hossein Nasr, Osman Bakar, WR Thompson, Martin Lings dan Giuseppe Sermonti.
    Kritik-kritik mereka hampir sama kerasnya dengan yang dilakukan Harun Yahya. Osman Bakar misalnya, mengatakan, "Kita tak ragu lagi jika teori evolusi diperbolehkan diuji secara kritis dan terbuka oleh semua pihak yang berkepentingan, teori evolusi akan segera runtuh." Di akhir tulisannya Osman mengutip Tom Bethel, "Teori Darwin, saya yakin, sedang mendekati kejatuhannya Ia sedang dalam proses pembuangannya."
    Meski kritiknya hampir sama keras, buku "Keruntuhan Teori Evolusi" karya Harun Yahya nampaknya akan lebih diminati pasar karena sejumlah alasan, antara lain tampilannya yang lebih menarik serta bahasanya yang lebih mudah dipahami masyarakat awam. Oleh penerbit Dzikra, buku Harun Yahya itu diterbitkan dengan mutu kertas yang baik serta dipenuhi dengan gambar-gambar warna-warni yang tajam, sehingga harganya relatif lebih mahal daripada buku lain seukurannya. Meski begitu, seperti dijelaskan Halfino Berry, editor Dzikra, animo masyarakat terhadap buku tersebut cukup baik. "Kami berusaha menampilkan buku Harun Yahya sebaik edisi aslinya. Alhamdulillah dalam waktu sekitar 4 bulan cetakan pertama sebanyak 2700 eksemplar sudah terjual. Dan saat ini sedang kami cetak ulang," jelas Halfino.
    Buku Harun Yahya yang berjudul Deep Thinking telah diterjemahkan oleh Penerbit Robbani Press dengan judul "Bagaimana Seorang Muslim Berfikir" lebih laku lagi. Menurut manajer pemasaran Robbani Press, Muhammad Abduh, buku itu sangat diminati masyarakat. Dalam beberapa bulan ini buku Deep Thinking telah mengalami dua kali cetak ulang. "Sekarang kami sedang memproses cetakan ketiga," kata Abduh.
    Materialisme, Rasisme, Agnotisisme dan Kloning
    Banyak hal yang menarik dari buku "Keruntuhan Teori Evolusi" itu. Salah satunya adalah penjelasan Harun tentang hubungan yang erat antara teori evolusi dengan materialisme. Filsafat materialisme menyatakan bahwa keberadaan alam semesta tidak berawal dan tidak diciptakan. Artinya paham itu menolak mentah-mentah eksistensi Tuhan. Oleh Darwin filsafat yang demikian itu kemudian ia terapkan dalam menjelaskan fenomena alam.
    Maka tak heran bila para pendukung filsafat materialisme, terutama penganut Marxisme, terus-menerus membela Darwinisme, meskipun teori itu bertentangan dengan logika sekalipun. Karl Marx, pencetus komunisme, pernah memuji buku karya Darwin The Origin of Species sebagai buku yang berisi landasan sejarah alam bagi pandangan mereka. Begitu simpatinya Marx pada Darwin sehingga ia menghadiahi Darwin buku Das Kapital disertai catatan kecil, "Dari seorang pengagum setia kepada Charles Darwin."
    Menurut Britannica Encyclopedia, Darwin diketahui punya semangat yang senada dengan kaum materialis dan atheis, yakni agnotisisme, suatu paham yang tidak meyakini keberadaan Tuhan, tapi tidak juga menyangkal keberadaan Tuhan. Mereka orang yang mengaku 'tidak tahu' tentang ada atau tidak adanya Tuhan.
    Buku Harun Yahya juga mengungkap aspek lain dari Darwin yang tidak banyak diketahui orang, yakni pandangan rasisnya. Darwin menganggap ras kulit putih Eropa lebih maju dibandingkan ras-ras lainnya. Ras-ras lain yang terbelakang, menurut Darwin, masih memiliki sifat kera. Dalam bukunya The Descent of Man, yang diterbitkannya setelah The Origin of Species, Darwin berpendapat bahwa orang-orang kulit hitam dan orang Aborigin di Australia sama dengan gorila, dan lambat laun akan disingkirkan oleh 'ras-rasa beradab'. "Di masa mendatang, tidak sampai berabad-abad lagi, ras-ras manusia beradab hampir dipastikan akan memusnahkan dan menggantikan ras-ras biadab di seluruh dunia," tulisnya.
    Pandangan rasisme Darwin membuat teman dekatnya, Profesor Adam Sedgawik, merasa sangat khawatir terhadap dampak yang ditimbulkannya. "Jika buku ini diterima masyarakat luas, (maka buku) ini akan memunculkan kebiadaban ras manusia yang belum pernah tersaksikan sebelumnya.
    Benar saja. Seperti dikatakan Catur Sriherwanto, penerjemah buku "Keruntuhan Teori Evolusi", pandangan Darwin yang rasis itu telah melahirkan berbagai bencana kemanusiaan selama abad 20 dan sekarang. Misalnya, Adolf Hitler pemimpin Nazi di Jerman serta Benitto Mussolini pemimpin fasis di Italia melakukan peperangan dan pembantaian kepada masyarakat non Arya dan non Eropa diilhami oleh ajaran rasisme Darwin.
    Sayangnya, meski sudah menghasilkan serentetan dampak buruk, keyakinan tentang evolusi telah begitu merasuk ke dalam pemikiran banyak orang, terutama masyarakat Barat, sehingga telah menjelma menjadi 'agama' tersendiri. "Teori evolusi telah menjadi agama yang tidak toleran bagi hampir semua orang Barat yang terdidik. Ia mendominasi pemikiran, pembicaraan dan harapan-harapan peradaban mereka," ungkap ilmuwan Malaysia Osman Bakar. Akibatnya etika evolusi kerap bertentangan dengan etika agama, seperti etika Islam. Jika etika agama menempatkan manusia sebagai makhluk mulia yang berbeda dengan hewan, etika evolusi dengan seenaknya menyatakan manusia adalah satu spesies dari sekian ribu spesies hewan, manusia keturunan hewan dan terciptanya manusia terjadi secara kebetulan tanpa ada peran Tuhan.
    Jika sudah menihilkan peran Tuhan, bisa ditebak bagaimana kelanjutannya. Manusia akan melakukan apa saja, termasuk yang merendahkan harkat kemanusiaannya sendiri. Contoh yang paling akhir adalah bioteknologi kloning. Kloning adalah metoda pengembangbiakan makhluk hidup tanpa proses perkawinan, mirip dengan pembiakan vegetatif pada tumbuhan.
    Setelah berhasil melakukan penggandaan domba melalui metoda kloning, sejumlah ilmuwan Barat segera beranjak ke eksperimen kloning terhadap manusia. Mereka menginginkan dapat menggandakan manusia sehingga seorang manusia bisa memiliki 'fotokopian' dirinya dalam jumlah tak terbatas. Berbeda dengan kasus kloning pada domba, hewan yang tidak mengenal etika, kasus kloning pada manusia jelas berimplikasi luas dan akan mengobrak-abrik harkat kemanusiaan. Contoh sederhana, tentang orangtua, para kembar identik itu akan kebingungan menentukan siapakah orangtuanya. Misalnya, seorang bernama Inggrid memiliki orangtua bernama Robert dan Susan. Tatkala Inggrid mengkloning dirinya, ia menggunakan rahimnya sendiri untuk mengandung bakal kembar identiknya. Setelah kembar identik ia lahirkan dan diberi nama Martha, maka timbul pertanyaan: bagaimanakah status hubungan darah Inggrid dan Martha, apakah hubungan ibu dan anak atau hubungan saudara kandung?
    Bagi kalangan yang beragama, jelas status hubungan itu menjadi masalah yang sangat serius, tetapi bagi kalangan materialis dan evolusionis, semua itu tidak jadi masalah. Sebab bagi mereka, apakah Tuhan ada atau tidak, tidak jadi masalah. Apalagi sekedar soal kloning. Artinya, kalau paham materialisme sudah merasuk dan peran Tuhan sudah dinihilkan, apapun akan orang lakukan, sekalipun akan menjadikan manusia kehilangan kemanusiaan dan keberadabannya.
    Setumpuk Kelemahan Teori Evolusi
    Ada terlalu banyak fakta kelemahan teori evolusi untuk ditulis pada halaman majalah ini. Tetapi dari sedikit saja yang diungkap sudah bisa meluluhlantakkan teori itu. Misalnya saja tentang catatan fosil dan keteraturan alam. Dalam Origin of Species, Darwin menjelaskan: "Jika teori saya benar (bahwa suatu spesies berasal dari spesies lain, red), pasti pernah terdapat jenis-jenis bentuk peralihan yang tak terhitung jumlahnya, yang mengaitkan semua spesies dari kelompok yang sama Sudah tentu bukti keberadaan mereka di masa lampau dapat ditemukan pada peninggalan fosil-fosil."
    Ternyata teori itu tidak benar. Yang menarik, ketidakbenaran teori itu dinyatakan oleh Darwin sendiri, sehingga ia mengaku jadi terbingung-bingung: "Jika suatu spesies memang berasal dari spesies lain melalui perubahan sedikit demi sedikit, mengapa kita tidak melihat sejumlah bentuk transisi di manapun? Mengapa alam tidak berada dalam keadaan kacau-balau, tetapi justru seperti kita lihat, spesies-spesies hidup dengan sebaik-baiknya? Menurut teori ini harus ada bentuk-bentuk peralihan dalam jumlah besar, tetapi mengapa kita tidak menemukan mereka terkubur di kerak bumi dalam jumlah tidak terhitung? Telah lama kesulitan ini sangat membingungkan saya."
    Atas kebingungan itu, seorang ahli paleontologi yang juga evolusionis pendukung Darwin, Mark Czarnecki, memberikan jawaban justru meruntuhkan teori Darwin: "Kendala utama dalam membuktikan teori evolusi selama ini adalah catatan fosil; jejak spesies-spesies yang terawetkan dalam lapisan bumi. Catatan fosil belum pernah mengungkapkan jenis-jenis peralihan hipotesis Darwin sebaliknya, spesies muncul tiba-tiba dan musnah secara tiba-tiba. Kepercayaan ini menguatkan argumentasi kresionis (penganut kepercayaan bahwa alam semesta dan isinya diciptakan oleh Tuhan dan menolak teori evolusi, red) bahwa setiap spesies diciptakan oleh Tuhan."
    Alhasil, semakin gigih para evolusionis mencari bukti untuk mendukung teori mereka, akan semakin banyak fakta yang meruntuhkan teori itu, dan sebaliknya justru kian meneguhkan keberadaan dan kemahakuasaan Allah Sang Pencipta.
    "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang berakal. Yakni mereka yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk dan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS Ali Imran: 190-191).· Saiful Hamiwanto
  2. © 2005 Harun Yahya International.

Bagaimana Doa dapat mempercepat kesembuhan pasien



Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS. Al Mu'min, 40:60)
Menurut Al Qur'an, doa, yang berarti "seruan, menyampaikan ungkapan, permintaan, permohonan pertolongan," adalah berpalingnya seseorang dengan tulus ikhlas kepada Allah, dan memohon pertolongan dari-Nya, Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, dengan kesadaran bahwa dirinya adalah wujud yang memiliki kebergantungan. Penyakit adalah salah satu dari contoh tersebut yang dengannya manusia paling merasakan kebergantungan ini dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Tambahan lagi, penyakit adalah sebuah ujian, yang direncanakan menurut Hikmah Allah, yang terjadi dengan Kehendak-Nya, dan sebagai peringatan bagi manusia akan kefanaan dan ketidaksempurnaan kehidupan ini, dan juga sebagai sumber pahala di Akhirat atas kesabaran dan ketaatan karenanya.
Sebaliknya mereka yang tidak memiliki iman, meyakini bahwa jalan kesembuhan adalah melalui dokter, obat atau kemampuan teknologi mutakhir dari ilmu pengetahuan modern. Mereka tidak pernah berhenti untuk merenung bahwa Allah-lah yang menyebabkan keseluruhan perangkat tubuh mereka untuk bekerja di saat mereka sedang sehat, atau Dialah yang menciptakan obat yang membantu penyembuhan dan para dokter ketika mereka sakit. Banyak orang hanya kembali menghadap kepada Allah di saat mereka sadar bahwa para dokter dan obat-obatan tidak memiliki kesanggupan. Orang-orang yang berada pada keadaan tersebut memohon pertolongan hanya kepada Allah, setelah menyadari bahwa hanya Dialah yang dapat membebaskan mereka dari kesulitan. Allah telah menyatakan pola pikir ini dalam sebuah ayat:
Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. (QS, Yunus, 10:12)
Padahal sesungguhnya, sekalipun dalam keadaan sehat, atau tanpa cobaan atau kesulitan lain, seseorang wajib berdoa dan bersyukur kepada Allah atas segala kenikmatan, kesehatan dan seluruh karunia yang telah Dia berikan.
Inilah satu sisi paling penting dari doa: Di samping berdoa dengan lisan menggunakan suara, penting pula bagi seseorang melakukan segala upaya untuk berdoa melalui perilakunya. Berdoa dengan perilaku bermakna melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk mencapai harapan tertentu. Misalnya, di samping berdoa, seseorang yang sakit sepatutnya juga pergi ke dokter ahli, menggunakan obat-obatan yang berkhasiat, dan menjalani perawatan rumah sakit jika perlu, atau perawatan khusus dalam bentuk lain. Sebab, Allah mengaitkan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pada sebab-sebab tertentu. Segala sesuatu di dunia dan di alam semesta terjadi mengikuti sebab-sebab ini. Oleh karena itu, seseorang haruslah melakukan segala hal yang diperlukan dalam kerangka sebab-sebab ini, sembari berharap hasilnya dari Allah, dengan kerendahan diri, berserah diri dan bersabar, dengan menyadari bahwa Dialah yang menentukan hasilnya.
Pengaruh menguntungkan dari keimanan dan doa bagi orang sakit, dan bagaimana hal ini dapat mempercepat penyembuhan adalah sesuatu yang telah menarik perhatian dari dan dianjurkan oleh para dokter. Dengan judul "God and Health: Is Religion Good Medicine? Why Science Is Starting to Believe" [Tuhan dan Kesehatan: Apakah Agama Adalah Obat Yang Baik? Mengapa Ilmu Pengetahuan Mulai Percaya], majalah terkenal Newsweek terbitan tanggal 10 November 2003 mengangkat pengaruh agama dalam penyembuhan penyakit sebagai bahasan utamanya. Majalah tersebut melaporkan bahwa keimanan kepada Tuhan meningkatkan harapan pasien dan membantu pemulihan mereka dengan mudah, dan bahwa ilmu pengetahuan mulai meyakini bahwa pasien dengan keimanan agama akan pulih lebih cepat dan lebih mudah. Menurut pendataan oleh Newsweek, 72% masyarakat Amerika mengatakan mereka percaya bahwa berdoa dapat menyembuhkan seseorang dan berdoa membantu kesembuhan. Penelitian di Inggris dan Amerika Serikat juga telah menyimpulkan bahwa doa dapat mengurangi gejala-gejala penyakit pada pasien dan mempercepat proses penyembuhannya.
Menurut penelitian yang dilakukan di Universitas Michigan, depresi dan stres teramati pada orang-orang yang taat beragama dengan tingkat rendah. Dan, menurut penemuan di Universitas Rush di Chicago, tingkat kematian dini di kalangan orang-orang yang beribadah dan berdoa secara teratur adalah sekitar 25% lebih rendah dibandingkan pada mereka yang tidak memiliki keyakinan agama. Penelitian lain yang dilakukan terhadap 750 orang, yang menjalani pemeriksaan angiocardiography [jantung dan pembuluh darah], membuktikan secara ilmiah "kekuatan penyembuhan dari doa." Telah diakui bahwa tingkat kematian di kalangan pasien penyakit jantung yang berdoa menurun 30% dalam satu tahun pasca operasi yang mereka jalani.
Sejumlah contoh doa yang disebutkan dalam Al Qur'an adalah:
Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang". Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah. (QS. Al Anbiyaa', 21:83-84)
Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman. (QS. Al Anbiyaa', 21:87-88)
Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: "Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. (QS. Al Anbiyaa', 21:89-90)
Sesungguhnya Nuh telah menyeru Kami: maka sesungguhnya sebaik-baik yang memperkenankan (adalah Kami). (QS. Ash Shaaffaat, 37:75)
Sebagaimana telah disebutkan, doa tidak semestinya hanya dilakukan untuk menghilangkan penyakit, atau kesulitan-kesulitan duniawi lainnya. Orang beriman yang sejati haruslah senantiasa berdoa kepada Allah dan menerima apa pun yang datang dari-Nya. Kenyataan bahwa sejumlah manfaat doa yang diwahyukan di dalam banyak ayat Al Qur'an kini sedang diakui kebenarannya secara ilmiah, sekali lagi mengungkapkan keajaiban yang dimiliki Al Qur'an.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah, 2:186)


© 2005 Harun Yahya 

Rabu, 25 April 2012

ANTARA ZIONISME DAN YAHUDI


Musim panas tahun 1982 menjadi saksi atas kebiadaban luar biasa yang menyebabkan seluruh dunia berteriak dan mengutuknya dengan keras. Tentara Isrel memasuki wilayah Lebanon dalam suatu serbuan mendadak, dan bergerak maju sambil menghancurkan sasaran apa saja yang nampak di hadapan mereka. Pasukan Israel ini mengepung kamp-kamp pengungsi yang dihuni warga Palestina yang telah melarikan diri akibat pengusiran dan pendudukan oleh Israel beberapa tahun sebelumnya. Selama dua hari, tentara Israel ini mengerahkan milisi Kristen Lebanon untuk membantai penduduk sipil tak berdosa tersebut. Dalam beberapa hari saja, ribuan nyawa tak berdosa telah terbantai.
Terorisme biadab bangsa Israel ini telah membuat marah seluruh masyarakat dunia. Tapi, yang menarik adalah sejumlah kecaman tersebut justru datang dari kalangan Yahudi, bahkan Yahudi Israel sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari Tel Aviv University menulis sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 1982:

Saya menulis kepada anda sambil mendengarkan radio transistor yang baru saja mengumumkan bahwa ‘kita’ sedang dalam proses ‘pencapaian tujuan-tujuan kita’ di Lebanon: yakni untuk menciptakan ‘kedamaian’ bagi penduduk Galilee. Kebohongan ini sungguh membuat saya marah. Sudah jelas bahwa ini adalah peperangan biadab, lebih kejam dari yang pernah ada sebelumnya, tidak ada kaitannya dengan upaya yang sedang dilakukan di London atau keamanan di Galilee…Yahudi, keturunan Ibrahim…. Bangsa Yahudi, mereka sendiri menjadi korban kekejaman, bagaimana mereka dapat menjadi sedemikian kejam pula? … Keberhasilan terbesar bagi Zionisme adalah de-Yahudi-isasi bangsa Yahudi. ("Professor Leibowitz calls Israeli politics in Lebanon Judeo-Nazi" Yediot Aharonoth, July 2, 1982)
Benjamin Cohen bukanlah satu-satunya warga Israel yang menentang pendudukan Israel atas Lebanon. Banyak kalangan intelektual Yahudi yang tinggal di Israel yang mengutuk kebiadaban yang dilakukan oleh negeri mereka sendiri.
Pensikapan ini tidak hanya tertuju pada pendudukan Israel atas Lebanon. Kedzaliman Israel atas bangsa Palestina, keteguhan dalam menjalankan kebijakan penjajahan, dan hubungannya dengan lembaga-lembaga semi-fasis di bekas rejim rasis Apartheid di Afrika Selatan telah dikritik oleh banyak tokoh intelektual terkemuka di Israel selama bertahun-tahun. Kritik dari kalangan Yahudi sendiri ini tidak terbatas hanya pada berbagai kebijakan Israel, tetapi juga diarahkan pada Zionisme, ideologi resmi negara Israel.
Ini menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: kebijakan pendudukan Israel atas Palestina dan terorisme negara yang mereka lakukan sejak tahun 1967 hingga sekarang berpangkal dari ideologi Zionisme, dan banyak Yahudi dari seluruh dunia yang menentangnya.
Oleh karena itu, bagi umat Islam, yang hendaknya dipermasalahkan adalah bukan agama Yahudi atau bangsa Yahudi, tetapi Zionisme. Sebagaimana gerakan anti-Nazi tidak sepatutnya membenci keseluruhan masyarakat Jerman, maka seseorang yang menentang Zionisme tidak sepatutnya menyalahkan semua orang Yahudi.
Asal Mula Gagasan Rasis Zionisme
Setelah orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem pada tahun 70 M, mereka mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Selama masa ‘diaspora’ ini, yang berakhir hingga abad ke-19, mayoritas masyarakat Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas kesamaan agama mereka. Sepanjang perjalanan waktu, sebagian besar orang Yahudi membaur dengan budaya setempat, di negara di mana mereka tinggal. Bahasa Hebrew hanya tertinggal sebagai bahasa suci yang digunakan dalam berdoa, sembahyang dan kitab-kitab agama mereka. Masyarakat Yahudi di Jerman mulai berbicara dalam bahasa Jerman, yang di Inggris berbicara dengan bahasa Inggris. Ketika sejumlah larangan dalam hal kemasyarakatan yang berlaku bagi kaum Yahudi di negara-negara Eropa dihapuskan di abad ke-19, melalui emansipasi, masyarakat Yahudi mulai berasimilasi dengan kelompok masyarakat di mana mereka tinggal. Mayoritas orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah ‘kelompok agamis’ dan bukan sebagai sebuah ‘ras’ atau ‘bangsa’. Mereka menganggap diri mereka sebagai masyarakat atau orang ‘Jerman Yahudi’, ‘Inggris Yahudi, atau ‘Amerika Yahudi’.
Namun, sebagaimana kita pahami, rasisme bangkit di abad ke-19. Gagasan rasis, terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan mendapatkan banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat pengaruh kuat badai rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.
Kalangan Yahudi yang menyebarluaskan gagasan Zionisme adalah mereka yang memiliki keyakinan agama sangat lemah. Mereka melihat “Yahudi” sebagai nama sebuah ras, dan bukan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu keyakinan agama. Mereka mengemukakan bahwa Yahudi adalah ras tersendiri yang terpisah dari bangsa-bangsa Eropa, sehingga mustahil bagi mereka untuk hidup bersama, dan oleh karenanya, mereka perlu mendirikan tanah air mereka sendiri. Orang-orang ini tidak mendasarkan diri pada pemikiran agama ketika memutuskan wilayah mana yang akan digunakan untuk mendirikan negara tersebut. Theodor Herzl, bapak pendiri Zionisme, pernah mengusulkan Uganda, dan rencananya ini dikenal dengan nama ‘Uganda Plan’. Kaum Zionis kemudian menjatuhkan pilihan mereka pada Palestina. Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai ‘tanah air bersejarah bangsa Yahudi’, dan bukan karena nilai relijius wilayah tersebut bagi mereka.
Para pengikut Zionis berusaha keras untuk menjadikan orang-orang Yahudi lain mau menerima gagasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama mereka ini. Organisasi Yahudi Dunia, yang didirikan untuk melakukan propaganda masal, melakukan kegiatannya di negara-negara di mana terdapat masyarakat Yahudi. Mereka mulai menyebarkan gagasan bahwa orang-orang Yahudi tidak dapat hidup secara damai dengan bangsa-bangsa lain dan bahwa mereka adalah suatu ‘ras’ tersendiri; dan dengan alasan ini mereka harus pindah dan bermukim di Palestina. Sejumlah besar masyarakat Yahudi saat itu mengabaikan seruan ini.
Dengan demikian, Zionisme telah memasuki ajang politik dunia sebagai sebuah ideologi rasis yang meyakini bahwa masyarakat Yahudi tidak seharusnya hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain. Di satu sisi, gagasan keliru ini memunculkan beragam masalah serius dan tekanan terhadap masyarakat Yahudi yang hidupnya tersebar di seluruh dunia. Di sisi lain, bagi masyarakat Muslim di Timur Tengah, hal ini memunculkan kebijakan penjajahan dan pencaplokan wilayah oleh Israel, pertumpahan darah, kematian, kemiskinan dan teror.
Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi Hirsch, salah seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan:
‘Zionisme berkeinginan untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah bangsa .... ini adalah sesuatu yang menyimpang (dari ajaran agama)’. (Washington Post, October 3, 1978)
Seorang pemikir terkemuka, Roger Garaudy, menulis tentang masalah ini:
Musuh terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan kolonialis dari Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan) nasionalisme, rasisme dan kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini, yang mengilhami semua kolonialisme Barat dan semua peperangannya melawan nasionalisme lain, adalah cara berpikir bunuh diri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan tidak ada perdamaian di Timur Tengah kecuali jika Israel telah mengalami “de-Zionisasi” dan kembali pada agama Ibrahim, yang merupakan warisan spiritual, persaudaraan dan milik bersama dari tiga agama wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger Garaudy, "Right to Reply: Reply to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger Garaudy", Samizdat, June 1996)
Dengan alasan ini, kita hendaknya membedakan Yahudi dengan Zionisme. Tidak setiap orang Yahudi di dunia ini adalah seorang Zionis. Kaum Zionis tulen adalah minoritas di dunia Yahudi. Selain itu, terdapat sejumlah besar orang Yahudi yang menentang tindakan kriminal Zionisme yang melanggar norma kemanusiaan. Mereka menginginkan Israel menarik diri secara serentak dari semua wilayah yang didudukinya, dan mengatakan bahwa Israel harus menjadi sebuah negara bebas di mana semua ras dan masyarakat dapat hidup bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama, dan bukan sebagai ‘negara Yahudi’ rasis.
Kaum Muslimin telah bersikap benar dalam menentang Israel dan Zionisme. Tapi, mereka juga harus memahami dan ingat bahwa permasalahan utama bukanlah terletak pada orang Yahudi, tapi pada Zionisme.